Aku berulang kali menggosok kedua telapak tangan, menghadirkan fragmen kehangatan, meski hanya untuk sepersekian detik. Kepulan asap yang merupakan residu dari pernapasanku terlihat dengan jelas, seolah ingin mempertegas bahwa hari itu sangatlah dingin. Aku berjalan tertatih-tatih, tak tahu ke arah mana aku harus menuju. Aku meringis ketika kakiku yang tidak dialasi apa pun harus kembali menyentuh salju yang begitu dingin.

Ini adalah minggu ketigaku tanpa sosok Ayah maupun Ibu. Dan aku sangat tidak menyukai keadaanku saat ini. Pasti terlihat sangat menyedihkan, aku tahu itu.

Bibirku semakin pucat akibat keadaan yang begitu parah. Perutku bergemuruh dengan kencang, mengajukan aksi protes atas nutrisi yang tak dapat dipenuhi. Aku hanya bisa memeluk tubuhku dalam kesendirian. Aku berbelok ke arah kanan ketika melihat persimpangan yang sudah kuhafal betul. Dengan lemas, aku langsung terjatuh di gang tersebut. “Kanae rindu Ayah….” Aku menahan tangis yang lagi-lagi ingin mengendalikanku.

Pikiranku kembali mendambakan Ibu yang selalu menyediakan hidangan terenak untuk kami, selalu ada ketika aku membutuhkan seseorang yang bisa kuandalkan. Terlebih lagi soal Ayah. Kedewasaan serta kecakapan yang tergambar di setiap inci tubuhnya, ketegasannya yang terpahat lewat setiap tuturan yang ia katakan, aku begitu merindukannya. Ia adalah Ayahku, sosok yang kubanggakan, sosok yang menjadi pahlawan terbesar bagiku, bahkan lebih dari spiderman ataupun superman.

“Kanae…?” Aku—yang sejak tadi menutup mata—langsung tersentak kaget begitu mendengar suara yang tidak asing lagi bagiku. Dengan mata yang sedikit bengkak, aku menatap sosok pria berbadan tinggi dengan netra biru yang menyimpan begitu banyak makna.

“A-Ayah…!” Bibirku gemetar, masih tidak percaya dengan apa yang baru saja kusaksikan. Iya, ini Ayahku!

Ayah berjongkok, kemudian merentangkan tangannya lebar-lebar, menyambutku untuk kembali terkunci dalam gerbang pelukannya. Aku langsung menuruti keinginan Ayah. Kupeluk Ayah erat-erat, seolah sudah bertahun-tahun tidak berjumpa. “Kanae kangen banget sama Ayah. Sejak Ibu pergi sama kakak berambut pirang itu, Kanae tinggal sendirian.”

Ayah mengusap rambutku dengan penuh kasih. Namun, tiada kehangatan yang dapat kurasakan dari setiap perlakuan Ayah, seolah-olah semua sudah berubah. Kemudian, semua mulai menggelap dan pandanganku semakin kabur.

Ketika aku kembali membuka mata, aku sudah tertarik kembali ke dunia nyata. Mimpi indah yang sejak tadi menghipnotis pikiranku seketika hilang tanpa jejak. Aku duduk, kembali memeluk diriku, membayangkan Ayah sedang mendekapku dan membisikkan ucapan penuh kasih sayang kepadaku agar tetap kuat menghadapi semua. Akan tetapi, aku tahu bahwa semua itu terlalu indah untuk menjadi kenyataan.

Masih terduduk di gang yang sangat sepi, aku pun berbisik untuk yang terakhir kalinya, “Ayah, aku merindukan pelukanmu….”

About The Author

1 thought on “Merindukan Pelukanmu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *