“Jangan penah masuk ke dalam desa itu. Kau pasti menyesal.”

Aku sungguh tidak peduli dengan peringatan dari sahabatku dan aku tidak menyangka bahwa itu adalah kesalahan terbesarku. Mengabaikan nasihat itu, aku menggeret koper, melewati sawah yang terbentang dengan luas di kiri dan kanan.

Aku terus-terusan melirik, berharap menemukan satu orang saja yang bisa memberitahukan arah yang benar kepadaku. Namun, orang itu tidak pernah datang. Aku mengembuskan napas. Mungkin aku sebaiknya mengurungkan niat dan kembali saja ke kota.

Akan tetapi, itu bukanlah keinginanku. Aku ingin sekali hidup bebas di lingkungan yang bebas dari cercaan orangtua, hinaan dari teman, dan tekanan dari berbagai pihak. Desa ini adalah tempatnya. Aku merasa ada suatu hal yang menarik perhatianku kala aku menginjakkan kaki pertama kalinya, tepatnya tujuh tahun yang lalu saat karyawisata.

Matahari mulai terbenam ketika aku telah membulatkan tekad untuk meneruskan perjalanan. Dibekali dengan cahaya yang begitu minim, aku menemukan seorang gadis yang dikucir kuda. Ia tampak begitu senang bermain seorang diri. Jujur, aku kembali teringat masa kecilku ketika melihatnya.

“Sendirian saja…?” Kuhampiri gadis yang sedang berlari itu.

Gadis itu menggeleng, tampak begitu bingung melihatku. “Aku tidak sendiri!” protesnya tidak terima. “Aku bermain bersama Lucy!” Ia menunjuk ke arah depan, tetapi tak kujumpai apa pun di sana.

“Lucy?” Aku mengerutkan dahi dengan bingung.

“Iya, dia ada di sana. Berdiri tepat di garis putih itu.” Aku kembali melihat arah yang ia tunjuk, tetapi hasilnya nihil.

Bulu kudukku seketika berdiri. Hawa tidak enak mulai menjalar tubuh, memaksa benakku untuk segera pergi. “Sekarang dia berada di pundak kiri kakak!” Gadis itu kembali menunjuk.

Aku tertegun dan menoleh patah-patah ke arah kiri. Sepasang mata merah menatapku dengan intens, tampak memendam kebencian selama bertahun-tahun. “Ayo main, Kak.” Kemudian, pandanganku menjadi gelap.

Tiada lagi yang dapat kudengar selain suara tawa sang gadis yang tadi kuajak bicara. “Satu lagi korban baru. Dengan ini, sudah genap seratus.”

About The Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *